Senin, 07 Mei 2012

The Princess (Part 1)







Taiwan Fanfiction yang diperankan Wu Chun dan Angela  Zhang

Title     : The Princess
Author :
Ariek Chun-AzzuraChunniess
Genre  : Romance
Point of View : Yu Xin Lei
Cast :
Wu Chun as Shi Jia Rong
Angela Zhang as Yu Xin Lei
Calvin Chen as Ma Tian Fu
Genie Zhuo as Wang Qiao Er

Disclaimer :
terus terang ini adalah ff bergenre romance yg pertama kali author buat. Sebelum2nya sukanya bikin genre comedy, hehe. Jika readers smua suka dg ceritanya silakan save ff ini di disc readers. Tapi mengaku2 bahwa yg buat ff ini adalah readers, itu haram hukumnya...
Have the best imagination ya..!

Little description :
cerita ini author buat dg latar belakang sebuah SMA. Karena masih SMA so otomatis pemain2nya pun juga berumuran anak sma. So, readers byangin aja deh gimana rupanya Wu Chun, Angela Zhang and Calvin Chen waktu berumur 17 taun, hehehe...
Imut banget kali ya..

                          ###############################################


       "A, aku.... aku...."

       "Iya, ada apa Jia Rong?"

       "Aku mencintaimu....."

       Kata-kata Jia Rong meluncur begitu saja di telingaku. Aku tidak sedang bermimpi kan?

       "Maukah kau menjadi kekasihku, Xin Lei?"

       Lagi, Jia Rong membuka mulutnya dan keluarlah rangkaian kalimat yang hampir membuatku ingin ber-harakiri saat itu juga.

       "Jia Rong...?"

       "Maafkan aku! Maaf, aku lancang mengatakan ini padamu."

       "Ah, tidak, maksudku~..."

       "Aku, aku, sudah menyimpan rasa ini padamu, sejak kita melakukan study tour bersama setahun lalu. Maafkan aku."

       Ugh! Berhentilah meminta Jia Rong!

       "Iya... Aku mau menjadi kekasihmu." aku melemparkan senyumku padanya. Ah, tidak juga, rasanya        aku juga ingin mencopot jantungku dan melemparkannya pada Jia Rong.

       Laki-laki berbibir ranum ini, yang sudah lama kukagumi karena ke piawaiannya bermain basket, yang diam-diam kupuja karena kepandaiannya di kelas, yang sudah lama kucintai karena sifat-sifatnya yang mengagumkan, tiba-tiba saja menyatakan perasaannya bahwa sudah lama mencintaiku. Ah, ingin rasanya kupanjat Menara Eifell sekarang juga. Laki-laki yang sangat kucintai, ternyata memiliki perasaan yang sama sepertiku. Tuhan! Betapa bahagianya aku!

                           ###########################################################

       "Hei..." sapa Jia Rong. Dia berjalan cepat menyusulku yang saat itu sedang berjalan pulang melewati lorong kelas.

       "Sini, aku bawakan."

       Kemudian tangannya meraih setumpuk buku tebal yang sedang kupeluk. Yah, dia benar-benar laki-laki yang baik. Beruntung sekali aku menjadi kekasihnya.
"Kau ada acara akhir pekan ini?" tanyanya kemudian. Kami berjalan beriringan menyusuri koridor sekolah.

       "Tidak." jawabku sambil tersenyum.

       "Ehm, aku tunggu di Jam Besar ya.." katanya kemudian.

       "Ehm...~" aku mengalihkan pandanganku. Membosankan. Dari lima bulan lalu sejak aku jadian dengan dia, jika kencan selalu ke itu-itu saja. Jika tidak ke Taman Jam Besar, pasti ke kedai kopi.

       Terkadang aku iri dengan gadis lain. Makan malam di restoran mewah, ke kebun binatang, Disney Land, atau liburan ke luar negeri. Aku juga ingin merasa dispesialkan seperti mereka.

       Kenapa Jia Rong tak juga mengertiku? Tak bisakah dia memperlakukanku seperti tuan puteri? Sedih sekali jika hatiku memikirkan ini. Langsung kutengadahkan kepalaku. Kuharap air mataku tidak mengalir sekarang.

       "Kenapa?" tanya Jia Rong yang melihatku hanya diam.

       "Ehm, tidak...." kulemparkan senyumku padanya. Jika sudah begini seperti biasa Jia Rong akan membalas senyumku lebih lebar, kemudian merangkul pundakku. Ya, aku tahu. Dia sangat mencintaiku. Dia selalu menatap lembut padaku. Kata-katanya selalu romantis. Sering kutemukan sehelai kertas terselip di tengah-tengah buku pelajaranku. Sehelai kertas berisikan puisi cinta untukku.

       Pernah suatu kali dia bertanding basket mati-matian tanpa memperhatikan cedera di lutut kanannya karena terjatuh dari tangga. Pak Guru Liu sudah membentaknya berkali-kali untuk berhenti bertanding dan keluar dari lapangan. Tapi Jia Rong seperti buta telinganya.

       Aku langsung bergegas begitu mendengar bahwa Jia Rong masuk rumah sakit. Jantungku berdebar tidak karuan mengkhawatirkan keadaan Jia Rong. Begitu sampai di UGD, kudapati Jia Rong tengah duduk di atas kursi roda. Kaki kanannya diperban dari lutut hingga ujung jari.

       "Jia Rong! Kau tidak apa-apa?" tanyaku resah.

       "Lihatlah." tiba-tiba Jia Rong menyodorkan ponselnya ke hadapan wajahku.

       "Apa ini?"
      
       "Lihatlah yang teliti."

       Kuamati layar handphone berukuran empat inchi itu lekat-lekat. Sebuah potret papan nilai pertandingan basket.

       "Kau lihat angka yang ada di situ?" tanyanya kemudian.

       "Ehm, 101?"

       "Iya. Bagus bukan?"

       "Bagus?" aku masih tak paham dengan maksud Jia Rong.

       "101, bukankah itu hari ulang tahunmu? Tanggal sepuluh Bulan Januari." Jia Rong tersenyum lebar padaku. Memperlihatkan jajaran gigi-giginya yang manis.

       Sebulir air menggantung di pelupuk mataku. Aku benar-benar tersanjung dengan apa yang dia lakukan demiku. Tak ada seorangpun yang mengerti. Pantas saja sekalipun Pak Guru Liu meneriakinya untuk keluar dari pertandingan, Jia Rong tetap berkeras kepala untuk tetap bertanding. Demi mencentak angka 101 di papan nilai. Hanya demiku. Sekalipun dia tahu sekarang aku tak sedang berulang tahun.

       Gadis manapun pasti akan menangis senang dengan pengorbanan yang dilakukan Jia Rong. Aku langsung memeluknya erat saat itu.

       Yah, aku akui dia laki-laki yang sangat romantis dan rela melakukan apapun demiku. Tapi, kenapa dia terkesan tidak memikirkan keinginanku? Jia Rong, kuingin menjadi cinderella, walaupun itu hanya sekilas. Ku mohon.

       Terkadang aku berhayal Jia Rong membawakanku cincin permata, lalu memasangkannya di jari manisku. Aku selalu iri acap kali melihat Xiao Yang, Shi Yong, atau gadis lain di kelasku memamerkan cincin yang melingkar di jari mereka. Kemudian dengan bangganya melontarkan pertanyaan,

       "Lalu, Yu Xin Lei, apa yang Jia Rong berikan padamu?""

       Ugh! Ingin kulemparkan saja cincin itu ke mulut mereka. Mereka tahu Jia Rong memang bukan dari keluarga kaya. Bahkan Jia Rong harus kerja part time di minimarket sebelah halte bus. Dan mereka memanfaatkan itu untuk meledekku. Tak jarang aku diam berjam-jam di toilet hanya untuk melimpahkan air mata dan kekesalanku. Tuhan! Ku mohon, ubahlah Jia Rong menjadi pangeran yang kaya raya, walaupun itu hanya sehari.
                                          ######################################

       Kulemparkan tas ranselku ke atas ranjang. Kemudian mataku menatap kalender yang berdiri manis di atas mejaku. Banyak tanda hati berwarna merah jambu di setiap hari sabtu. Jia Rong tak pernah lupa mengajakku jalan-jalan tiap akhir pekan. Ah, tidak juga. Itu bukan jalan-jalan. Itu tak lebih dari sekedar keliling-keliling taman. Jia Rong, apa kau tak bosan setiap minggu selalu mengunjungi tempat yang sama? Dan akhir pekan ini pun aku akan mengunjungi tempat itu. Lagi, lagi, dan lagi. Mungkin sampai bertahun-tahun ke depan aku akan tetap mengunjungi taman itu. Fiuhh, rasanya hatiku dihimpit oleh dua batu yang sangat besar.

       Pernah terlintas di otakku, apa ku putuskan saja Jia Rong? Dia tak lebih dari laki-laki kere dan tak bisa mengangkat citraku di mata teman-temanku. Jika begini terus, aku akan dicap sebagai gadis yang menyedihkan. Tapi sudut hatiku yang lain selalu memberontak. Tak pernah setuju jika aku meninggalkan Jia Rong. Merasa kesepian jika tanpa Jia Rong. Hmph! Rasanya aku akan gila. Bahkan di hatiku sendiri pun terjadi konflik.

                                   ##########################################

       "Aku baru pulang kerja. Baobei, kau tak lupa dengan rencana besok kan?"

       Malam itu sms dari Jia Rong masuk ke ponselku. Yahh, seperti biasa, dia selalu semangat jika akan kencan denganku.

       Jia Rong, bagaimana kalau kita pergi ke taman ria yang ada di pusat kota? Di sana pasti menyenangkan.

       Hufft, tapi tak sampai hati aku mengirim pesan itu pada Jia Rong. Kerja part time-pun tak akan dia lakoni jika tidak demi aku.

       "Tentu."

       "Ku tunggu kau jam tiga ya..."

       "Ok, sweety."

       "Love u..."

       "Love u too..."

       Percakapan kami tidak pernah panjang. Biasanya Jia Rong langsung tertidur. Dia terlalu lelah untuk meladeniku.

       Otakku kembali melayang pada Xiao Yang, Xu Chen, Bi Zhu, dan puluhan gadis lain di sekolah, yang selalu pamer tentang lamanya mereka saling telepon dengan kekasih mereka, atau mengeluhkan notebooknya yang low battrey karena terlalu lama digunakan chatting dengan pacar mereka. Dan aku? Aku tak pernah mengeluhkan apapun.





                            _____________________________________________
Bersambung ke Part 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar