Selasa, 03 Juli 2012

A Conflict [part five]

Fahrenheit Fanfiction

Judul      : Fei Lun Hai Story ----> A Conflict

Author    : Ariek Chun-AzzuraChunniess

Genre     : Kesetiakawanan

Main Cast : Wu Chun
Wang Da Dong
Chen Yi Ru
Yan Ya Lun

Cast :
Tong Li Ya
Yang Cheng Lin

Disclaimer :
FF ini saya buat dengan segenap hati atas dasar kecintaan saya pada keempat pria yang tergabung di Boyband Fei Lun Hai. keterenyuhan hati saya akan kesetiakawanan mereka. Jika kalian suka silakan copy FF ini kemudian save di disc kalian. :).... tapi mengaku2 bahwa FF ini yg membuat kalian adalah terlarang. *dilempar dari atas gedung*

                                                                 ßßßßßßßßßßß

         Awan biru tergelar indah di atap Pulau Okinawa. Sesekali suara Burung Pelikan bersahutan menemani matahari yang diam dalam sunyi. Namun keheningan tersebut agaknya tak bertahan lama. Tiba-tiba deru helkopter membelah angkasa tanpa ampun. Menggulung sepi menjadi gemuruh yang memekakkan telinga. Beberapa gerombolan burung berterbangan menghiasi biru angkasa ketakutan mendengar deru mesin capung raksasa itu.

        Tetapi rasa takut yang dirasakan burung-burung itu tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kegundahan hati Chun saat ini. Tak henti-hentinya Chun menghela nafas panjang mencoba menenangkan hatinya. Tapi kerisauannya malah semakin memuncak saja.

##########

        “Hiks~….”

        “Ka, Kau menangis?”

        “Chun~… huuhuu hiks….”

        “Ada apa lagi?” Tanya Chun datar sudah terbiasa mendengar isakan Ya Lun.

        “Aku, aku, di… hiks di rumah sakit~ … hu hu…”

        “Baiklah~ aku akan menjengukmu jika syutingku selesai….”

        “Bukan aku chun… hiks…”

        “Bukan kau? Lalu?”

        “Tadi, ketika akan berangkat ke studio, tiba-tiba, hiks hiks, tiba-tiba, hu hu hu…” Ya Lun terisak semakin keras.

         “Berhentilah menangis dan bicaralah, Ya Lun!” kata Chun tidak mengerti.

         “Mobilnya… hiks hiks… pembatas jalan… ledakan…” Ya Lun tak bisa menghentikan tangisannya.

        “Kecelakaan maksudmu?!” tebak Chun.

        "Huaa…..” Ya Lun langsung menjerit mendengar kata-kata Chun.

         “Ya Lun! Tenanglah! Tarik nafas. Tarik nafas dalam-dalam! Baiklah, katakan dengan perlahan. Apa yang terjadi??”

         “Dia matiiii, Chun~…!!!” Ya Lun menjerit semakin keras.

         “Mati? Siapa?!”

         “Wang Da Dong! Wang Da Dong Matiiii! Hiks… huaaaaaaa….!”

         Chun tak mengeluarkan sepatah katapun. Lidahnya kelu. Nafasnya tertahan di tenggorokannya mencoba mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya.

         “Da Dong ngebut di jalan! Hiks! Aku tidak tahu lagi harus apa, Chun~…! Da Dong sudah tak bernyawa! Hu hu hu hu ….!”

          Sebutir air mata bening menggantung di pelupuk mata Chun. Kemudian membelah pipinya membentuk anak sungai. Tubuhnya seketika terasa sangat lemas. Ponselnya langsung terjatuh ke atas pasir putih.

         “Xiao Ji? Ada apa?” Tanya Cheng Lin.

         Chun tak menjawab. Matanya menerawang jauh ke garis horizontal yang terbentuk oleh lautan biru. Air matanya jatuh lagi.

         Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Chun langsung membalikkan badannya. Dan tak disadarinya, entah bagaimana dia kini berhasil pergi dengan helikopter sewaannya. Tak terngiang lagi di kepalanya kata-kata yang ia katakan pada sutradara agar diperbolehkan pergi dari lokasi syuting.


         Segala umpatan dan bentakan dari mulut sutradara tak lebih dari hembusan angin di telinga Chun.

        "Chun! Kau akan membuat jadwal syuting ini berantakan!" cegah Manajernya sambil menahan lengan Chun.

        Tak ada jawaban dari bibir Chun. Yang ada di kepalanya sekarang adalah bagaimana ia pergi ke Rumah Sakit apapun caranya.


         Helikopter yg ditumpangi Chun berhasil mendarat tepat di atap gedung Rumah Sakit yang dimaksudkan Ya Lun. Dengan masih menggunakan kostum syutingnya Chun langsung berlari melewati tangga darurat untuk menemui Ya Lun.

        "Wei! Ya Lun! Kau dimana sekarang?" tanya Chun lewat ponselnya.

         "Aku dan Yi Ru sekarang di ruang jenazah. Da Dong baru saja dikeluarkan dari UGD." jelas Ya Lun. Isakannya kini
sedikit tak terdengar.

          "Di lantai berapa?" tanya Chun sambil berlari kencang menuruni anak tangga.

          "La, lantai? Ah, lantai lima."

          tut, tut, tut.

          Chun langsung menutup ponselnya dan terus berlari menelusuri tangga. Entah sudah berapa anak tangga yang ia lewati.

           Bruakk!

            Tanpa sengaja kaki Chun tergelincir. Dan bisa ditebak Chun roboh lalu jatuh di anak tangga yang terjal itu. Sakit perih tak terasa lagi oleh Chun.

           Dengan tertatih-tatih Chun bangkit. Tangannya berpegang erat pada pagar pembatas tangga.


           #######

          "Chun! Kapan-kapan kita panjat tebing yuk!"

           "Ahh! Sudahlah Da Dong, aku tidak mau lagi melihat kau menangis karena kalah cepat"

           Dukh!

           Da Dong meninju lengan Chun. "Enak saja kau! Lihat saja! Kupastikan kau yang akan menangis nanti!"

           "Baik! Siapa takut!" Chun mencoba membalas tinjuan Da Dong.

           #######

          "Apa ini?"

          "Untuk kau! Aku tidak suka ayam lada hitam"

          "Ah! Dasar kau, makan saja pilih-pilih"

          "Sudahlah, tidak perlu bicara seperti itu. Kau juga suka kan"

          Chun tak menjawab. Ia langsung melahap seporsi ayam lada hitam milik Da Dong tanpa ampun.

          #######

           Mata Chun kembali berkaca. Tiba-tiba saja gurauannya dengan Da Dong di masa lalu terngiang di telinganya.

          #######

         "Akh!" Chun langsung mengeluarkan sup yang terlanjur masuk di mulutnya ke dalam mangkuk, "Makanan apa ini? Asin sekali?!"

          "Asin? Makanannya enak..." heran Yi Ru.

         "Lidahmu yang asin. Makanan enak begini dibilang asin." kata Manajer Ma.

         Chun segera mengalihkan tatapannya ke arah Da Dong yang tertunduk menahan tawa.

         "Sudah kuduga! Ini kerjaanmu kan Da Dong!" Chun bangkit dari kursinya menghampiri Da Dong.

          "Mwahahaha! Rasakan kau! Bagaimana rasanya sup bayam super asin? Muahahaha!"

          "Sial kau!" Chun bersiap menerkam Da Dong

          "Eit! Eit! Tidak boleh membalas! Kita impas! Ini balasanku karena kau sudah mencampurkan wasabbi ke teh hijauku tadi pagi!"

          Keduanya saling kejar memutari meja makan.

          ###########

          Chun menghapus air mata yang menggantung di sudut matanya. Di sudut hatinya, di hati yang paling dalam, ada yang hilang di sana.
          "Da Dong...~ secepat itu kah?"


#######

         "Lihat saja! Tunggu satu bulan lagi! Lenganku akan lebih besar dari lenganmu Chun!"

         "Hahaha! Dengan makan ubi satu keranjang tiap hari?"

#######

          "Hei Da Dong! Gerakkan pionmu! Dasar berpikir dari sejam lalu tidak selesai-selesai!"

          "Eh, Chun."


         “hm?”

          "Saat kita sudah kakek-kakek nanti, bisa tidak ya kita bermain catur seperti sekarang?"

           "Ha? Ada apa dengan otakmu? Kau tidak sengaja makan pion catur ya?"

           "Akh! Dasar kau! Tidak bisa apa merespon lebih baik sedikit?"

           "Apa? Aku tahu, ini hanya akal-akalanmu saja. Kau mau main curang kan!"

           #######

          Chun meremas dadanya yang tak berhenti berdenyut perih tiap kali suara Da Dong menggema di telinganya. Nafasnya tersenggal-senggal. Keringatnya mengucur dari balik keningnya beriringan dengan air matanya.

           ########

        "Saat kita sudah kakek-kakek nanti, bisa tidak ya kita bermain catur seperti ini?"



------------------------
Bersambung ke part 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar