Minggu, 22 Juli 2012

Deadline (part 1)

Fahrenheit Fanfiction

Title : Deadline!!!

Author : Ariek Chun-AzzuraChunniess

Genre : Action, Romance

Main Cast :

Liu Yan Shi
Aaron Yan as Yan Ya Lun
Ling Jia Eun
Wu Chun as Wu Ji Zun

Cast :
Chen Yi Ru
Wang Da Dong
Zhao Shu Hai 



 **********************************************

          “Wei.”

           “Hei, Seven Dangerous nanti malam di putar di bioskop, lho…”

           “Lalu?”

           “Ayo nonton.”

           “Maaf, Yan Shi. Aku harus mengejar deadline.”

           “Oh, begitu.”

           “Ada lagi?”

           “Tidak.”

           “Ya, Sudah”

          Tut, tut,tut.

          Yan Shi membanting handphonenya ke atas ranjang. Giginya bergemelatuk sebal melihat tingkah Ya Lun yang belakangan ini berubah padanya. Padahal Ya Lun dulu tidak pernah lupa mengajaknya jalan-jalan di hari libur. Tapi kini, sekalipun ia yang mengajaknya, bahkan dengan iming-iming film kesukaannya, Ya Lun selalu menolak.

          Diraihnya lagi handphone dengan gantungan dolphin biru itu.

          “Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah….”

          Kali ini suara operator yang menjawab telepon Yan Shi.

          “Uuuh!!! Dasar menyebalkan!”

          #############################

          Bus kota melaju pelan menyusuri jalanan Kota Taipei. Puluhan orang terlihat berjejalan di dalam bus besar itu. Termasuk salah satu diantaranya Ling Jia Eun. Dengan setelan rapi san make up minimalis, gadis berusia 22 tahun itu tak ingin terlambat di hari pertamanya bekerja.

          “Handphone? Sudah… Agenda? Sudah… fiuhh, bagus. Dompet? Sudah…” gumam Jia Eun sambil mengacak-acak isi tasnya. Namun tiba-tiba tangannya terhenti.

          “Eh? Dompet?” Jia merogoh tasnya lebih dalam. Rasa resah menyembul di wajahnya.

          “HAH!!! DOMPETKU??!!!”

          Sontak seluruh orang dalam bus itu menoleh ke arah Jia Eun.

          “Err,, maaf, maaf…” ucap Jia sambil menggigit bibirnya.

          “Tamat riwayatku! Bagaimana ini? Bagaimana ini?”

          Sementara Jia Eun sibuk meratapi dompetnya, beberapa orang di sekeliling Jia Eun memandanginya dengan heran. Tibalah ketika kondektur bus menarik uang karcis. Jia Eun mulai gelagapan melihat kondektur bus berjarak lima kaki di depannya.

          “Aduh! Bagaimana ini?” Jia Eun berusaha keras mencari akal. “Apa aku melompat lewat candela saja ya? AH! Itu tidak mungkin!! Baiklah, aku sembunyi saja.”

          Dengan penuh paksa Jia Eun berjongkok di sela-sela kursi bus. Laki-laki yang kebetulan duduk di sebelah Jia Eun dibuat aneh melihatnya.

          “Permisi, Nona.” Tiba-tiba sebuah suara terdengar begitu jelas. Jia Eun tetap tidak bergerak dari aksi petak umpetnya.

          “Nona, permisi. Mana uang karcismu?”

          Pelan-pelan Jia Eun menengadahkan kepalanya. Dilihatnya kondektur bus tengah berdiri dengan di belakangnya.

          “Ah… Oh, itu, itu…”

          “Ini.”

          Tiba-tiba laki-laki yang duduk di sebelah Jia Eun menyodorkan selembar uang pada kondektur. Setelah mencoret beberapa tulisan di notanya, kondektur berkumis tebal itu berlalu ke belakang.

          Jia Eun hanya menganga melihat laki-laki di sampingnya itu. Sejurus kemudian dia langsung tertawa lega.

          “Haaa, terima kasih, terima kasih banyak!” ucap Jia Eun sambil membungkukkan badannya berkali-kali.

          “Ehm, iya.” Jawab laki-laki itu singkat. Sepertinya tingkah aneh Jia Eun dari awal dia naik ke dalam bus membuatnya kikuk.

          “Terima kasih. Dompetku tertinggal, aku janji akan mengembalikan uangmu secepatnya.”

          Tiba-tiba bus menghentikan lajunya di depan sebuah halte.

          “Permisi, aku harus turun di sini.” Kata laki-laki itu sambil berdiri dari duduknya.

          “O, oh, begitu. Baiklah. Hahaha, sekali lagi terima kasih!” kata Jia Eun dan lagi-lagi membungkukkan badannya. Seusai laki-laki itu menghilang dari depannya, Jia Eun teringat sesuatu.

          “Ini? Ini halte nomor 46? Hah! Aku juga harus turun di sini!”

          Jia Eun pun turun dari bus putih itu. Dihirupnya udara pagi dalam-dalam. Sebuah kantor berita tempatnya bekerja sekarang berdiri kukuh di seberang jalan. Jia Eun melangkahkan kakinya dengan riang. Dilihatnya beberapa orang berjalan menyalipnya. Inilah dunia kerja, dunia yang tampak begitu keren di matanya.

          Tiba-tiba bayangan laki-laki yang telah membayarinya di bus terbayang di kepalanya.

          “HAH!!! Aku lupa tanya siapa namanya!!” pekik Jia Eun spontan. Sekali lagi puluhan orang yang sedang berjalan di sekitarnya menatap kaget ke arahnya.

          “A, ah,.,.. suaraku terlalu keras ya??” Jia Eun langsung menundukkan wajahnya. “Aduh! Aku bodoh sekali. Bagaimana bisa aku mengembalikan uang padanya tapi tidak tahu nama dan nomor teleponnya??” batin Jia Eun.

          ###########################

          “Aku ingin berita tentang perkelaian di rapat dewan kemarin malam menjadi gambar utama.”

          “Baik.”

          “Li Young, laporkan penelusuranmu di pabrik tekstil kemarin.”

          Tok, tok, tok…

          Terdengar seseorang mengetuk pintu. Seluruh orang yang tengah rapat itu menoleh ke arah pintu masuk. Tampak Jia Eun muncul dari balik pintu.

          “Aku Ling Jia Eun, pegawai baru di Kantor Berita A-News. Aku masuk di divisi lima setelah~…..” tiba-tiba Jia Eun tidak meneruskan kalimatnya. Matanya membulat lebar melihat laki-laki yang tengah duduk di ujung meja rapat.

          “KA, KAU!!!!” pekik Jia Eun sambil mengacungkan telunjuknya ke arah laki-laki berkemeja biru itu. Pegawai lain terheran-heran melihat tingkah Jia Eun. Seluruh orang dalam ruangan itu memandang bingung ke arah Jia Eun dan laki-laki yang merupakan kepala divisi mereka.

          “Eh??!” Jia Eun tersadar dari aksi kagetnya, “Maaf! Maaf!” ucapnya kemudian sambil membungkukkan badan. Segera ditariknya kursi yang berada di depannya lalu duduk bergabung dengan yang lain.

          “Ehm, baik. Kita lanjutkan rapatnya.” Kata laki-laki itu sedikit gugup. Tingkah Jia Eun sukses membuyarkan konsentrasinya.

          Satu jam lamanya rapat tentang penerbitan berita itu berlangsung. Belasan pegawai yang duduk dalam rapat itu terlihat berpikir serius. Jia Eun hanya bisa memandangi mereka satu per satu tanpa bisa melakukan apapun. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.

          ##########################################

          “Hei! Kau mau?” tegur seorang gadis berambut panjang pada Jia Eun sambil menyodorkan sebuah minuman kaleng.

          “Iya…”

          “Aku Liu Yan Shi.” Kata gadis itu kemudian.

          “Oh, aku Ling Jia Eun.” Jawab Jia Eun lalu menyambut kaleng itu.

          “Ini pertama kalinya kau kerja, ya?”

          “Iya, benar. Bagaimana kau tahu?”

          “Dandananmu.”

          “Dandananku? Ada yang salah?”

          “Tidak. Orang yang pertama kerja biasanya akan memakai pakaian yang sangat rapi dengan make up mahal di wajahnya.”

          “Oh, begitu~…” Jia Eun meraba wajahnya. Kemudian dilihatnya Yan Shi yang duduk di sampingnya. Celana Jeans dengan hem polos, sementara rambutnya terurai begitu saja di punggungnya. Dandanan Yan Shi tak jauh beda dengan pegawai lain di dalam ruangan itu.

          “Kantor berita biasanya memaksa pegawainya mondar-mandir kesana kemari. Jadi, sesuaikan pakaianmu dengan pekerjaan yang akan kau hadapi.”

          “O, oh… begitu. Terima kasih sudah memberitahuku.”

          “Jangan terlalu sopan padaku. Aku ini temanmu, bukan atasanmu.”

          “Ahahaha, iya…”

          Tiba-tiba seorang laki-laki berlalu di hadapan Yan Shi dan Jia Eun. Spontan Jia Eun berdiri dari kursinya dan mengejar laki-laki itu.

          “Heei!! Kau!! Tunggu!!”

          Merasa terpanggil, laki-laki bertubuh tinggi itu menghentikan langkahnya.

          “Siapa namamu?” Tanya Jia Eun tiba-tiba dengan nafas tersengal-sengal.

          “Apa?”

          “Namamu! Aku mana bisa mengembalikan uangmu jika tidak tahu namamu!”

          “Kau ini pegawai macam apa tidak tahu nama kepala divisinya sendiri?”

          “Heeeh? Kepala divisi???”

          “Pelankan suaramu! Aku ini atasanmu! Dasar gadis aneh…”

          “Oh, baik, baik, maaf…”

         Laki-laki itu kembali meneruskan langkahnya.

          “Lho!! Tunggu!! Kau belum menjawab pertanyaanku!!”

          “Cari tahu sendiri.” Jawabnya tanpa menoleh sedikitpun.

          “Ugh! Sialnya aku punya atasan menyebalkan seperti dia.”

          “Apa? Minta dipecat kau?”

          “Eh??? Tidak, tidak”

          Laki-laki tinggi itu mengalihkan pandangannya, lalu berjalan meninggalkan Jia Eun.  Yan Shi yang sedari tadi melihat keduanya, menghampiri Jia Eun.

          “Apa yang kau bicarakan dengannya?”

          “Dengannya? Oh, kepala divisi itu, ya? Ehm, kau tahu namanya siapa?”

          “Namanya? Dia Yan Y a Lun.”

          “Oh, Yan-Ya-Lun…”

          “Kenapa?”

          “Tidak apa-apa.”

          ###################################

          Ya Lun berjalan menyusuri lorong yang sepi sambil memilah-milah setumpuk kertas. Suasana Nampak begitu sunyi dan gelap. Tiba-tiba matanya menangkap sebuah cahaya dari balik cendela kaca.

          “Sudah selarut ini, kenapa belum pulang?” tegur Ya Lun.

          “Ehm? Kau?”

          “Kenapa belum pulang?”

          “Aku harus meneruskan suntingan segmen empat.” Jawab perempuan itu yang tidak lain adalah Yan Shi.

          “Matikan laptopmu dan cepatlah pulang.” Perintah Ya Lun.

          “Kau sendiri tidak pulang.”

          “Jangan membantah.”

          “Sudahlah, biarkan aku menemanimu lembur.”

          Ya Lun langsung menekan tombol power di laptop Yan Shi lalu melipatnya.

          “Hei!!! Apa yang kau lakukan?? Aku belum menyimpannya!!”

          “Aku bilang pulang!!” Ya Lun meraih lengan Yan Shi dan menariknya keluar.

          “Lepaskan!!” Yan Shi melepas paksa cengkraman Ya Lun.

          “Ada apa denganmu?!”

          “Kau yang ada apa! Kenapa sekarang kau berubah dingin padaku?!”

          Ya Lun terdiam mendengar bentakan Yan Shi.

          “Kau tidak pernah meneleponku. Bahkan SMSku pun jarang kau balas! Apa aku pernah berbuat salah padamu?!”

          “Yan Shi!”

          “Jawab! Aku sudah melakukan kesalahan apa padamu?! Kau pikir aku tidak punya hati, ha?! Sampai kapan kau akan selalu menomorsatukan pekerjaan??!”

          Dengan air mata berlinangan, Yan Shi meraih tasnya dan berlari meninggalkan Ya Lun. Ya Lun hanya bisa memandangnya sayu tanpa mengejarnya sedikitpun.

---------------------------------------------------------------------
Bersambung ke part 2....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar