Deadline (part 3)
Fei Lun Hai Fanfiction
Title : Deadline!!!
Author : Ariek Chun-AzzuraChunniess
Genre : Action, Romance
Main Cast :
Liu Yan Shi
Aaron Yan as Yan Ya Lun
Ling Jia Eun
Wu Chun as Wu Ji Zun
Cast :
Chen Yi Ru
Wang Da Dong
Zhao Shu Hai
"Sudah, Tuan. Pengiriman akan dilakukan besok dini hari." sahut seorang lainnya.
Pelan-pelan Jia Eun merogoh sakunya dan mengeluarkan alat perekam suara. Ia tak mengerti siapa mereka dan apa sebenarnya yang mereka bicarakan. Tapi melihat gelagat lima orang misterius itu Jia Eun merasa perlu menyelidikinya. Kali ini giliran tangan kiri Jia Eum merogoh tasnya. Diambilnya kamera digitalnya lalu memotret mereka berkali-kali. Namun, tanpa sengaja seorang dari mereka menoleh ke arah Jia Eun.
"Hei! Siapa kau!?" bentaknya.
Bergegas Jia Eun memasukkan kamera dan alat perekamnya ke dalam tasmya, lalu dengan sekencang mungkin lari dari sana.
"Jangan biarkan lolos! Kejar!!" perintah laki-laki tambun itu.
Dengan sigap tiga orang laki-laki yang merupakan bawahannya berlari mengejar Jia Eun. Dengan kaki serasa digantungi barbel, Jia Eun tetap berusaha lari dari kejaran tiga laki-laki itu. Segala macam benda yang ada di sampingnya ia robohkan untuk menghambat mereka.
Title : Deadline!!!
Author : Ariek Chun-AzzuraChunniess
Genre : Action, Romance
Main Cast :
Liu Yan Shi
Aaron Yan as Yan Ya Lun
Ling Jia Eun
Wu Chun as Wu Ji Zun
Cast :
Chen Yi Ru
Wang Da Dong
Zhao Shu Hai
___________________________
__________________________
Kabar tentang Jia Eun yang kepergok
berduaan dengan Ya Lun di toilet langsung merebak dengan cepat ke seluruh
pegawai. Tak terkecuali Yan Shi. Telinganya langsung memanas mendengar berita
itu. Didatanginya Jia Eun yang kala itu tengah duduk di mejanya.
“Hebat sekali! Baru empat hari
bekerja kau sudah menjadi topic utama di kantor ini.”
“Ehm..” Jia Eun tak berani
menghadapkan wajahnya ke arah Yan Shi.
“Jadi, apa saja yang kau daptkan dari
Ya Lun di toilet pagi tadi?”
"Maksudmu apa?"
"Sudahlah, Jia Eun. Aku jengah melihat wajahmu yang sok lugu itu!"
"Kau percaya begitu saja dengan gosip itu? Itu tidak benar, aku tadi tidak sengaja....."
"Tidak sengaja? Tidak sengaja katamu?!" Yan Shi memotong kalimat Jia Eun, "Jadi maksudmu Ya Lun yang menarikmu ke dalam sana, ha??"
Seluruh orang dalam ruangan itu menoleh ke arah Jia Eun dan Yan Shi.
"Bukan begitu!" Jia Eun langsung berdiri dari duduknya.
"Lihatlah dirimu! Bahkan sebelah kakimu tidak bersepatu!"
Jia Eun terdiam mendengar sindiran Yan Shi. Tangisnya serasa ingin meledak saat itu juga.
"Yan Shi, kenapa kau tiba-tiba benci padaku?"
Yan Shi memutar bola matanya, "Menurutmu?"
CKLEK!
Tiba-tiba terdengar pintu ruangan terbuka. Tampak Ya Lun masuk ke dalam ruangan dengan memeluk setumpuk kertas.
"Ada apa ini?" tanya Ya Lun heran melihat suasana begitu tegang. Tak seorangpun bersuara. Yan Shi berbalik menuju mejanya, sementara Jia Eun masih tegap berdiri di tengah ruangan.
"Baiklah, semua dengarkan aku." kata Ya Lun memulai bicara, "Besok seluruh orang di divisi lima akan diturunkan ke lapangan. Kita akan meliput demo buruh pabrik Min Young. Aku akan membagi kalian ke dalam beberapa kelompok yang akan disebar diberbagai titik. Dapatkan info dan gambar sebanyak yang kalian bisa. Rinciannya akan kutempel di papan pengumuman."
Beberapa orang terdengar saling berbisik satu sama lain.
"Hei, Ya Lun. Apa pentingnya demo buruh itu sampai kami semua harus turun ke sana?" tanya Yi Feng.
"Ini bukan demo biasa. Aku mencium sebuah keganjilan kali ini. Masalah di pabrik Tekstil Min Yong ternyata memiliki sangkut paut dengan Menteri Chao. Dapatkan info sebanyak yang kalian bisa. Ada pertanyaan lagi?"
Tak ada sahutan. Ya Lun pun menyudahi penjelasannya. Kemudian dihampirinya Jia Eun yang terus saja berdiri sejak ia datang.
"Kenapa tidak duduk? Harusnya kau menghargai atasanmu saat sedang berbicara." tegur Ya Lun.
"M, maaf~...." ucap Jia Eun.
"Sudahlah, Jia Eun. Aku jengah melihat wajahmu yang sok lugu itu!"
"Kau percaya begitu saja dengan gosip itu? Itu tidak benar, aku tadi tidak sengaja....."
"Tidak sengaja? Tidak sengaja katamu?!" Yan Shi memotong kalimat Jia Eun, "Jadi maksudmu Ya Lun yang menarikmu ke dalam sana, ha??"
Seluruh orang dalam ruangan itu menoleh ke arah Jia Eun dan Yan Shi.
"Bukan begitu!" Jia Eun langsung berdiri dari duduknya.
"Lihatlah dirimu! Bahkan sebelah kakimu tidak bersepatu!"
Jia Eun terdiam mendengar sindiran Yan Shi. Tangisnya serasa ingin meledak saat itu juga.
"Yan Shi, kenapa kau tiba-tiba benci padaku?"
Yan Shi memutar bola matanya, "Menurutmu?"
CKLEK!
Tiba-tiba terdengar pintu ruangan terbuka. Tampak Ya Lun masuk ke dalam ruangan dengan memeluk setumpuk kertas.
"Ada apa ini?" tanya Ya Lun heran melihat suasana begitu tegang. Tak seorangpun bersuara. Yan Shi berbalik menuju mejanya, sementara Jia Eun masih tegap berdiri di tengah ruangan.
"Baiklah, semua dengarkan aku." kata Ya Lun memulai bicara, "Besok seluruh orang di divisi lima akan diturunkan ke lapangan. Kita akan meliput demo buruh pabrik Min Young. Aku akan membagi kalian ke dalam beberapa kelompok yang akan disebar diberbagai titik. Dapatkan info dan gambar sebanyak yang kalian bisa. Rinciannya akan kutempel di papan pengumuman."
Beberapa orang terdengar saling berbisik satu sama lain.
"Hei, Ya Lun. Apa pentingnya demo buruh itu sampai kami semua harus turun ke sana?" tanya Yi Feng.
"Ini bukan demo biasa. Aku mencium sebuah keganjilan kali ini. Masalah di pabrik Tekstil Min Yong ternyata memiliki sangkut paut dengan Menteri Chao. Dapatkan info sebanyak yang kalian bisa. Ada pertanyaan lagi?"
Tak ada sahutan. Ya Lun pun menyudahi penjelasannya. Kemudian dihampirinya Jia Eun yang terus saja berdiri sejak ia datang.
"Kenapa tidak duduk? Harusnya kau menghargai atasanmu saat sedang berbicara." tegur Ya Lun.
"M, maaf~...." ucap Jia Eun.
Dengan wajah tetap menunduk Jia Eun tiba-tiba berlari keluar ruangan.
Dadanya terasa penuh sesak. Agaknya mengeluarkan lautan air mata pun takkan
bisa menghilangkan beban di dadanya.
"Aku harus bicara denganmu." kata Ya Lun sambil menghampiri meja Yan Shi. Segera diraihnya tangan Yan Shi lalu membawanya keluar ruangan.
"Wah, wah, sejak Jia Eun datang tempat ini tiba-tiba terasa seperti lokasi syuting." celetuk Da Dong sepergi Ya Lun dan Yan Shi.
"Tapi seru juga, kita tidak perlu susah-susah pergi ke bioskop. Hahaha...." tawa Yi Ru menimpali.
#
"Apa kau tidak bisa membedakan antara urusan pribadi dengan pekerjaan??" tanya Ya Lun pada Yan Shi sesampainya keduanya di sebuah lorong yang sepi.
"Apa maksudmu bertanya seperti itu?" kata Jia Eun tidak terima.
"Berhentilah menekan Jia Eun! Dia terlalu kecil untuk kau perlakukan seperti itu."
"Terlalu kecil? Terlalu kecil katamu? Bahkan dia berani berduaan denganmu di toilet pria. Seperti itu kau bilang kecil?!" kata Yan Shi penuh amarah.
"Hentikan! Berhentilah meneruskan rasa cemburumu yang tidak beralasan itu. Kau salah paham. Kejadiannya tidak sama seperti gosip yang kau dengar!"
"OH! Jadi kau lebih membelanya??"
"Yan Shi..."
"Cukup!! Aku muak mendengarkanmu!"
Dengan emosi meluap-luap Yan Shi pergi meninggalkan Ya Lun. Lagi-lagi Ya Lun hanya memandanginya dari belakang. Serasa tak mampu mengejar. Otaknya seakan ingin meledak saat itu juga.
Dengan pikiran penat Ya Lun pergi ke atap gedung. Setidaknya angin bebas bisa sedikit mengurangi kegundahan hatinya. Ia sadar hubungannya dengan Yan Shi sekarang sedang melewati jalan terjal. Ia harus tahan dengan semua rintangan ini.
Dihirupnya udara sore kala itu dalam-dalam. Ditatapnya cakrawala yang terbentang luas di depan matanya. Disela-sela tiupan angin lagi-lagi Ya Lun mendengar isakan perempuan. Dicarinya sumber suara itu. Dan benar dugaannya, isakan tangis itu berasal dari bibir Jia Eun. Ia duduk memojok di sudut pagar tangga.
"Tidak adakah hal lain yang bisa kau lakukan selain menangis?" tegur Ya Lun.
"Aku harus bicara denganmu." kata Ya Lun sambil menghampiri meja Yan Shi. Segera diraihnya tangan Yan Shi lalu membawanya keluar ruangan.
"Wah, wah, sejak Jia Eun datang tempat ini tiba-tiba terasa seperti lokasi syuting." celetuk Da Dong sepergi Ya Lun dan Yan Shi.
"Tapi seru juga, kita tidak perlu susah-susah pergi ke bioskop. Hahaha...." tawa Yi Ru menimpali.
#
"Apa kau tidak bisa membedakan antara urusan pribadi dengan pekerjaan??" tanya Ya Lun pada Yan Shi sesampainya keduanya di sebuah lorong yang sepi.
"Apa maksudmu bertanya seperti itu?" kata Jia Eun tidak terima.
"Berhentilah menekan Jia Eun! Dia terlalu kecil untuk kau perlakukan seperti itu."
"Terlalu kecil? Terlalu kecil katamu? Bahkan dia berani berduaan denganmu di toilet pria. Seperti itu kau bilang kecil?!" kata Yan Shi penuh amarah.
"Hentikan! Berhentilah meneruskan rasa cemburumu yang tidak beralasan itu. Kau salah paham. Kejadiannya tidak sama seperti gosip yang kau dengar!"
"OH! Jadi kau lebih membelanya??"
"Yan Shi..."
"Cukup!! Aku muak mendengarkanmu!"
Dengan emosi meluap-luap Yan Shi pergi meninggalkan Ya Lun. Lagi-lagi Ya Lun hanya memandanginya dari belakang. Serasa tak mampu mengejar. Otaknya seakan ingin meledak saat itu juga.
Dengan pikiran penat Ya Lun pergi ke atap gedung. Setidaknya angin bebas bisa sedikit mengurangi kegundahan hatinya. Ia sadar hubungannya dengan Yan Shi sekarang sedang melewati jalan terjal. Ia harus tahan dengan semua rintangan ini.
Dihirupnya udara sore kala itu dalam-dalam. Ditatapnya cakrawala yang terbentang luas di depan matanya. Disela-sela tiupan angin lagi-lagi Ya Lun mendengar isakan perempuan. Dicarinya sumber suara itu. Dan benar dugaannya, isakan tangis itu berasal dari bibir Jia Eun. Ia duduk memojok di sudut pagar tangga.
"Tidak adakah hal lain yang bisa kau lakukan selain menangis?" tegur Ya Lun.
Spontan Jia Eun menoleh ke arah Ya Lun. Buru-buru ia mengusap air mata
yang memenuhi wajahnya.
Ya Lun memandangi Jia Eun dari ujung kaki hingga kepala. Iba rasanya melihat gadis kecil yang baru memasuki dunia kerja itu. Hati polosnya harus terbiasa dengan dunia eksekutif yang naik turun menghantam siapapun yang berada di dalamnya.
Ya Lun membungkukkan tubuhnya. Diulurkannya sehelai sapu tangan pada Jia Eun.
"Tidak perlu." kata Jia Eun sambil memalingkan wajahnya. Ya Lun tersenyum simpul dibuatnya. Pelan-pelan ia duduk di sebelah Jia Eun.
"Sudahlah. Jangan cengeng." kata Ya Lun.
"Itu urusanku."
"Kau harus sabar. Ujian dalam hidup ini adalah makanan agar kita bisa tumbuh dewasa."
Jia Eun terdiam mendengar kata-kata Ya Lun. Perlahan kedua matanya menatap wajah Ya Lun yang lembut diterpa angin.
"Begitukah?" tanya Jia Eun lirih. Pelan tapi pasti sebuah senyum merekah di wajahnya.
"Tapi, kenapa Yan Shi tiba-tiba membenciku?" tanya Jia Eun kemudian.
Ya Lun tersenyum tipis, "Dia tidak membencimu. Aku berani jamin, suatu saat nanti dia akan menjadi orang yang paling akrab denganmu. Kau harus tahan dengan keadaan sekarang."
"Ehm, terima kasih." ucap Jia Eun. "Aku tidak menyangka, kepala divisi menyebalkan sepertimu ternyata baik juga."
"Apa? Lagi-lagi kau mengataiku menyebalkan? Minta dipecat kau?" kata Ya Lun sambil menjitak kepala Jia Eun.
"Ugh! Sakit tahu."
"Ini!" kata Ya Lun sambil menepukkan sebuah sepatu wanita ke kening Jia Eun.
"Sepatuku?"
"Buanglah sampah di tempatnya, jangan membuangnya ke wajah orang."
"Jadi kau pikir ini sampah?" tanya Jia Eun tidak terima.
"Lalu apa?"
"Huh, kau memang menyebalkan. Aku menyesal sudah bilang kau baik."
"Apa? Menyesal? Minta dijitak lagi kau?"
"Hahahaha! Tidak."
Ya Lun memandangi Jia Eun dari ujung kaki hingga kepala. Iba rasanya melihat gadis kecil yang baru memasuki dunia kerja itu. Hati polosnya harus terbiasa dengan dunia eksekutif yang naik turun menghantam siapapun yang berada di dalamnya.
Ya Lun membungkukkan tubuhnya. Diulurkannya sehelai sapu tangan pada Jia Eun.
"Tidak perlu." kata Jia Eun sambil memalingkan wajahnya. Ya Lun tersenyum simpul dibuatnya. Pelan-pelan ia duduk di sebelah Jia Eun.
"Sudahlah. Jangan cengeng." kata Ya Lun.
"Itu urusanku."
"Kau harus sabar. Ujian dalam hidup ini adalah makanan agar kita bisa tumbuh dewasa."
Jia Eun terdiam mendengar kata-kata Ya Lun. Perlahan kedua matanya menatap wajah Ya Lun yang lembut diterpa angin.
"Begitukah?" tanya Jia Eun lirih. Pelan tapi pasti sebuah senyum merekah di wajahnya.
"Tapi, kenapa Yan Shi tiba-tiba membenciku?" tanya Jia Eun kemudian.
Ya Lun tersenyum tipis, "Dia tidak membencimu. Aku berani jamin, suatu saat nanti dia akan menjadi orang yang paling akrab denganmu. Kau harus tahan dengan keadaan sekarang."
"Ehm, terima kasih." ucap Jia Eun. "Aku tidak menyangka, kepala divisi menyebalkan sepertimu ternyata baik juga."
"Apa? Lagi-lagi kau mengataiku menyebalkan? Minta dipecat kau?" kata Ya Lun sambil menjitak kepala Jia Eun.
"Ugh! Sakit tahu."
"Ini!" kata Ya Lun sambil menepukkan sebuah sepatu wanita ke kening Jia Eun.
"Sepatuku?"
"Buanglah sampah di tempatnya, jangan membuangnya ke wajah orang."
"Jadi kau pikir ini sampah?" tanya Jia Eun tidak terima.
"Lalu apa?"
"Huh, kau memang menyebalkan. Aku menyesal sudah bilang kau baik."
"Apa? Menyesal? Minta dijitak lagi kau?"
"Hahahaha! Tidak."
#
Peliputan besar-besaran akhirnya dimulai. Sebagian staf diharuskan menyamar agar tak seorangpun tahu bahwa mereka sedang mencari berita. Sementara sebagian lainnya terang-terngan keluar sebagai wartawan.
"Kenapa kita ditugaskan di pabrik? Aku kan ingin melihat demonya." keluh Yi Ru.
"Iya, lagi pula pabriknya sepi. Semua orang ikut demo. Ya Lun itu main perintah seenaknya sendiri." tambah Da Dong. Jia Eun hanya diam mendengar kedua anggota kelompoknya saling menggerutu.
"Hei, Jia Eun, katanya kau punya hubungan ya sama Ya Lun?" tanya Yi Ru.
"Tinggalkan saja orang dingin seperti dia. Kau sama aku saja." celetuk Da Dong.
"Dasar playboy!" Yi Ru menyikut Da Dong.
Jia Eun tidak mengeluarkan sepatah katapun. Sedari tadi dia tidak berhenti menangisi nasibnya, kenapa di tugasnya yg pertama dia harus sekelompok dengan laki-laki?
Dengan menyamar sebagai pegawai pabrik, ketiganya berjalan mengelilingi komplek pabrik. Kondisi pabrik yang biasanya ramai dengan suara-suara mesin yang memekakkan telinga, kini tampak sunyi senyap. Sesekali ketiganya memotret sudut-sudut pabrik dan beberapa mesinnya.
"Wei, Yi Ru, Da Dong, jalannya bisa pelan-pelan tidak? Aku lelah mengejar kalian." keluh Jia Eun. Dari tadi dia terus tertinggal jauh di belakang. Kaki kecilnya tidak mampu mengiringi langkah lebar dua laki-laki di depannya.
Namun sepertinya keluhan Jia Eun tidak terdengar oleh Yi Ru dan Da Dong. Keduanya sibuk memotret dan saling mengobrol. Jia Eun serasa ingin menangis saat itu juga.
"Dasar kepala divisi menyebalkan! Ini semua gara-gara dia! Awas saja kalau ketemu!" geram Jia Eun emosi. Dahinya mengernyit kesakitan. Serasa kakinya akan patah jadi dua. Akhirnya tanpa banyak berpikir Jia Eun langsung memutuskan untuk istirahat. Ia duduk di sebuah bangku di dalam pabrik.
Beberapa menit berlalu, tiba-tiba lima orang berjas hitam masuk ke dalam pabrik. Buru-buru Jia Eun bersembunyi dibalik tumpukan kain.
"Mereka siapa?" tanya Jia Eun dalam hati.
"Semua sudah kau atur?" tiba-tiba
seorang laki-laki bertubuh tambun memulai pembicaraan.Peliputan besar-besaran akhirnya dimulai. Sebagian staf diharuskan menyamar agar tak seorangpun tahu bahwa mereka sedang mencari berita. Sementara sebagian lainnya terang-terngan keluar sebagai wartawan.
"Kenapa kita ditugaskan di pabrik? Aku kan ingin melihat demonya." keluh Yi Ru.
"Iya, lagi pula pabriknya sepi. Semua orang ikut demo. Ya Lun itu main perintah seenaknya sendiri." tambah Da Dong. Jia Eun hanya diam mendengar kedua anggota kelompoknya saling menggerutu.
"Hei, Jia Eun, katanya kau punya hubungan ya sama Ya Lun?" tanya Yi Ru.
"Tinggalkan saja orang dingin seperti dia. Kau sama aku saja." celetuk Da Dong.
"Dasar playboy!" Yi Ru menyikut Da Dong.
Jia Eun tidak mengeluarkan sepatah katapun. Sedari tadi dia tidak berhenti menangisi nasibnya, kenapa di tugasnya yg pertama dia harus sekelompok dengan laki-laki?
Dengan menyamar sebagai pegawai pabrik, ketiganya berjalan mengelilingi komplek pabrik. Kondisi pabrik yang biasanya ramai dengan suara-suara mesin yang memekakkan telinga, kini tampak sunyi senyap. Sesekali ketiganya memotret sudut-sudut pabrik dan beberapa mesinnya.
"Wei, Yi Ru, Da Dong, jalannya bisa pelan-pelan tidak? Aku lelah mengejar kalian." keluh Jia Eun. Dari tadi dia terus tertinggal jauh di belakang. Kaki kecilnya tidak mampu mengiringi langkah lebar dua laki-laki di depannya.
Namun sepertinya keluhan Jia Eun tidak terdengar oleh Yi Ru dan Da Dong. Keduanya sibuk memotret dan saling mengobrol. Jia Eun serasa ingin menangis saat itu juga.
"Dasar kepala divisi menyebalkan! Ini semua gara-gara dia! Awas saja kalau ketemu!" geram Jia Eun emosi. Dahinya mengernyit kesakitan. Serasa kakinya akan patah jadi dua. Akhirnya tanpa banyak berpikir Jia Eun langsung memutuskan untuk istirahat. Ia duduk di sebuah bangku di dalam pabrik.
Beberapa menit berlalu, tiba-tiba lima orang berjas hitam masuk ke dalam pabrik. Buru-buru Jia Eun bersembunyi dibalik tumpukan kain.
"Mereka siapa?" tanya Jia Eun dalam hati.
"Sudah, Tuan. Pengiriman akan dilakukan besok dini hari." sahut seorang lainnya.
Pelan-pelan Jia Eun merogoh sakunya dan mengeluarkan alat perekam suara. Ia tak mengerti siapa mereka dan apa sebenarnya yang mereka bicarakan. Tapi melihat gelagat lima orang misterius itu Jia Eun merasa perlu menyelidikinya. Kali ini giliran tangan kiri Jia Eum merogoh tasnya. Diambilnya kamera digitalnya lalu memotret mereka berkali-kali. Namun, tanpa sengaja seorang dari mereka menoleh ke arah Jia Eun.
"Hei! Siapa kau!?" bentaknya.
Bergegas Jia Eun memasukkan kamera dan alat perekamnya ke dalam tasmya, lalu dengan sekencang mungkin lari dari sana.
"Jangan biarkan lolos! Kejar!!" perintah laki-laki tambun itu.
Dengan sigap tiga orang laki-laki yang merupakan bawahannya berlari mengejar Jia Eun. Dengan kaki serasa digantungi barbel, Jia Eun tetap berusaha lari dari kejaran tiga laki-laki itu. Segala macam benda yang ada di sampingnya ia robohkan untuk menghambat mereka.
___________________________________
Bersambung ke Part 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar