Kamis, 08 November 2012

(Taiwan Fanfiction) Iridescent Time - part 3

Judul : Iridescent Time

Author : Ariek Chun-AzzuraChunniess

Genre : Tragedy, Romance

Rating : PG-15

Cast :
JJ Lin as Lin Jun Jie
Hebe Tian as Tian Fu Zhen
Wilber Pan as Pan Wei Bo


Aku limbung. Aku jatuh berlutut dalam ruangan itu. Muncul bayangan. Entah bayangan apa. Dia semakin mendekat ke arahku, merengkuhku hingga membuatku sulit bernafas.

###############

"Xiao Jie! Kau masuk SMA Nantou juga?"

"Haha! Iya!"

"Yeeeei! Kita satu sekolah lagi."

"Fu Zhen, kau tidak bosan apa satu sekolah terus denganku?"

"Tentu saja tidak! Aku senang ada korban untuk dikerjai."

"Apa? Dengar ya! Kali ini aku tidak akan tinggal diam!"

##################

Aku terpaku. Sakit yang mengekang seluruh tubuhku tak lagi aku rasakan. Bayangan dua remaja sma yang tengah bercanda sepenuhnya mengalihkan perhatianku.

Gadis itu, wajahnya kenapa mirip sekali denganku?

##################

"Fu Zhen! Kenapa kau terima tawaran Bu Guru Yu?"

"Aku ingin tampil di opera ulang tahun sekolah. Apa salahku? Kenapa membentakku seperti itu?"

"Pemeran pangerannya adalah Nai Rong!"

"Memangnya kenapa??"

"Aku tidak mau kau dekat dengannya?"

"Apa maksudmu?"

"Batalkan peranmu!"

"Xiao Jie!"

"Aku tidak mau tahu! Batalkan sekarang juga!"

"Xiao Jie! Jangan kekanak-kanakan!"

"Aku memang kekanak-kanakan! Aku tidak suka melihatmu berdansa dengan Nai Rong! Aku tidak suka melihatnya dekat denganmu! Aku tidak suka!!"

"Tapi kenapa?!"

"Aku tidak mau melihatmu bersama lelaki lain!!!"

"..........."

"Aku mencintaimu, Fu Zhen."

##################

"Akhh~" dadaku sakit. Jantungku terasa berdegub ratusan kali lebih cepat. Sakit! Benar-benar sakit!

##################

"Maaf, aku telah merusak persahabatan kita sejak kecil. Aku lancang jatuh cinta padamu. Maafkan aku..."

"Sudahlah, Xiao Jie. Toh tak ada bedanya. Sahabat ataupun kekasih, kita tetap bersama."

##################

"Apa ini?"

"Buka saja!"

"Cokelat?"

"Xiao Jie! Selamat hari valentine."

"Kau membuatkannya untukku?"

"He'em."

"Hmph! Apa ini? Cokelatnya rasanya agak gosong."

"Ugh! Kau itu tidak sopan sekali! Seharusnya kau tidak usah bilang kalau memang ada yang gosong! Dasar menyebalkan!"

"Hahaha! Kenapa marah? Hahaha! Au! Sakit! Jangan memukulku, Fu Zhen!"

##################

"Xiao Jie, jika kita menikah nanti, aku ingin menikah di atas kapal di tengah lautan."

"Kenapa harus kapal?"

"Pemandangannya sangat romantis. Langitnya luas seperti tempurung raksasa. Lalu suara deburan ombak menjadi musiknya. Indahnya~...."

"Itu terlalu biasa. Kau pikir sudah berapa pasangan yang menikah di atas kapal?"

"Lalu dimana?"

"Kita menikahnya di puncak Halmahera saja."

"Hee?"

"Di tempat yang tinggi, pasti rasanya sangat ekstrim."

"Kau mau membuatku mati kedinginan?? Kau saja sana menikah dengan serigala salju!"


##################

Air mataku merembes keluar. Aku terisak di tengah ruangan itu sambil meremas pelipisku yang berdenyut sakit. Perlahan aq sadar. Sebuah hal yang telah hilang kini kembali padaku. Memenuhi tiap relung hatiku yang semula kosong. Membuatku sadar. Sadar akan...

Masa lalu.

"Fu Zhen?" tiba-tiba Jun Jie muncul dari balik pintu. Dia terperangah melihatku tengah berlutut di tengah ruangan itu. Tangisanku semakin keras. Sosok yang pernah menghilang dari hidupku kini berdiri di hadapanku. Seseorang yang sangat kucintai.

"Xiao Jie~..." dengan tertatih-tatih aku berdiri. Kuhampiri Xiao Jie yang berdiri mematung. Aku tidak ingin menangis. Kumohon, berhentilah menangis! Aku tidak ingin pandanganku buram oleh air mata. Aku ingin melihat wajah Jun Jie dengan jelas. Melihat Jun Jie sebagai Xiao Jie-ku.

Tatapan Xiao Jie mulai melunak. Dia seperti mengerti dengan apa yang terjadi padaku. Mata Xiao Jie berkaca-kaca. Sepertinya dia terlalu lama memendam gejolak jiwa di dadanya. Segera kuhempaskan tubuhku ke dalam pelukan Xiao Jie. Tangisku meledak. Kami saling terisak di dalam ruangan yang dipenuhi taburan foto-foto masa lalu kami.
Entah berapa lama kami saling berpelukan. Yang kuingat Xiao Jie mengantarku pulang begitu langit merah memenuhi angkasa. Aku tak tahu harus bagaimana menggambarkan perasaanku. Dadaku begitu sesak penuh kebahagiaan. Nyaman dan tenang ketika Xiao Jie terus menggenggam tanganku.

Xiao Jie menurunkanku di depan pagar rumah nenek, lalu beranjak pergi setelah memelukku sejenak. Tidak. Itu bukan rumah nenek. Itu adalah rumahku. Nenek ikut tinggal bersamaku setelah kakek meninggal tiga tahun silam. Aku tersenyum tipis. Lucu rasanya jika mengingat semua kebohongan-kebohongan ayah selama ini.

"Fu Zhen, baru pulang? Penelitian lapangan lagi?" tegur ayah begitu aku masuk ke dalam rumah.

"Aku ingin ke makam ibu." kataku datar.

"Kenapa tiba-tiba bilang begitu?" sudah kuduga ayah akan kaget mendengar kata-kataku, "Kau kan sedang sibuk kuliah. Tunggu liburan saja. Kita ke Taipei bersama nenek juga."

"Cukup, Ayah. Makam ibu bukan di Taipei. Ibu dimakamkan di Nantou."

Ayah terhenyak. Ia hanya menelan ludah mendengar perkataanku.

"Fu Zhen, kau tahu dari siapa?"
"Sampai kapan Ayah akan membohongiku seperti ini?!"

"Fu Zhen...."

"Ayah suka melihatku berada dalam kehidupan palsu? Ayah membiarkanku menjadi orang lain. Harusnya Ayah jujur sejak awal! Ayah tidak mengerti! Aku tersiksa selama ini!!"

"Fu Zhen, ingatanmu...."
"Benar! Sekarang Ayah mau apa? Ayah sedih karena tidak bisa membohongiku lagi, ha? Bahkan Ayah memindahkanku ke Taipei, Ayah berharap aku benar-benar meninggalkan jati diriku?!!"

"Fu Zhen!!!" bentak Ayah. Suaranya menggelegar hingga membuatku terkejut. Sontak aku diam. Nafasku timbul tenggelam lantaran menahan emosi.

Ayah memegang kedua pundakku. Sejenak dia menatapku dalam-dalam, kemudian ia berbicara dengan bibir bergetar, "Maafkan Ayah."

Aku termangu. Ayah memegang pundakku semakin keras.

"Ayah hanya tidak ingin kau ingat dengan kejadian itu. Gara-gara Ayah, kau dan ibumu diculik selama berhari-hari. Kau masih delapan belas tahun waktu itu. Ibumu disiksa dan dipukuli di depan mata kepalamu sampai tewas. Dokter memvonis kau terkena Amnesia Psikogenik." suara Ayah perlahan senyap. Lebur menjadi satu dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. "Ayah terpaksa membawamu pergi dari sini agar jiwamu kembali tenang. Maafkan Ayah, Fu Zhen. Maafkan Ayah~...."

Ayah memelukku erat. Ia terisak sambil merengkuhku ke dadanya. Tubuhku mendadak lemas. Benakku melayang pada loteng gelap setahun silam. Udara pengap menusuk hidung. Sementara itu, sesosok tubuh tertelungkup di depanku. Kian hari kulitnya semakin pucat dan darah merah di sekelilingnya mengering menjadi kerak. Aku hanya bisa mengerang menatap mayat itu tanpa bisa melakukan apapun.

Kakiku bergetar. Wajah ibu berkelebat di mataku. Seketika tangisku langsung meledak. Ayah mendekapku semakin rapat. Berusaha menenangkanku yang semakin lemas.

##################

Matahari merajai angkasa. Teriknya menyengat ke segala penjuru. Namun, hawa panas siang itu tak terasa di dalam laboratorium dengan AC di setiap sudutnya. Dengan malas tanganku mencatat label yang menempel di tiap tabung reaksi ke atas bukuku. Kuputuskan aku tetap masuk kuliah hari ini meski badanku terasa sedikit meriang. Aku hanya tak ingin lenyap dalam perasaanku mengingat kejadian mengerikan itu. Setidaknya proyek penelitian Dosen Fong bisa mengalihkan perhatianku sejenak.

Tiba-tiba seseorang berjalan mendekat ke arahku. Kutolehkan wajahku.

"Xiao Jie?"

"Ini tabung terakhir. Aku sudah mensterilkannya." ucap Xiao Jie sambil menempatkan tiga buah tabung reaksi ke tempatnya.

Usai melakukan itu, Xiao Jie membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Segera kutarik tangannya untuk mencegahnya.

"Xiao Jie." panggilku. Xiao Jie menoleh ke arahku. Kami saling beradu pandang.

"Ada apa?" tanya Xiao Jie.

"Jangan pergi dulu. Temani aku sebentar di sini." kataku. Aku tak bisa mengingkari perasaanku. Aku sangat rindu berada di samping Xiao Jie.

Tiba-tiba tirai laboratorium tersingkup. Wei Bo muncul dari balik tirai itu. Tanpa kuduga Xiao Jie melepas tanganku dari tangannya. Aku tersentak kaget. Belum sempat aku berkata-kata, Xiao Jie langsung pergi dari sana dan meninggalkanku berdua dengan Wei Bo.
Aku hanya diam mematung. Apa maksud Xiao Jie melakukan hal itu?

Wei Bo menatapku tajam. Sejenak matanya melirik Xiao Jie yang berjalan keluar melewati pintu. Kemudian ia menghampiriku.

"Sudah selesai?" tanya Wei Bo.

"Ehm, belum." jawabku. Raut wajah Wei Bo berubah. Nada bicaranya tegas. Kenapa? Dia marah?

"Sudah, letakkan saja. Mendata tabung bisa dilakukan kapanpun." berkata demikian, Wei Bo merebut buku di tanganku lalu menarikku pergi dari sana.

"Tunggu, kita mau kemana?" tanyaku sambil berlari kecil mengiringi langkah Wei Bo yang cepat.

Tak ada jawaban.

"Wei Bo! Kau marah?"

Langkah Wei Bo terhenti begitu mendengar pertanyaanku.
“Aku haus. Aku mau membeli minuman. Tunggulah di sini." Wei Bo langsung berjalan membelok ke sebuah tikungan lorong. Aku mendesah.

Aku mulai sadar. Masalahnya tak semudah itu. Aku memang sangat ingin berada di samping Xiao Jie. Tapi, di saat aku menjadi Tian Fu Zhen yang lain, aku telah bersama Wei Bo. Dan kini, keduanya serasa menghimpit dadaku. Aku berada dalam situasi yang penuh dilema. Aku harus bagaimana?

Tiba-tiba Wei Bo muncul di dekatku. Dia kembali dengan membawa dua buah gelas besar.

"Ini es capuccino." ucap Wei Bo sambil menyerahkan segelas capuccino padaku. Nada bicaranya masih sama.
Wei Bo beranjak pergi. Kulangkahkan kakiku mengikutinya dari samping.

"Minumlah. Mumpung masih dingin." kata Wei Bo.
Aku diam menatap gelas capuccino di tanganku.

Tiba-tiba dari arah berlawanan muncul Xiao Jie. Dia berjalan ke arahku dan Wei Bo. Kami bertiga sama-sama diam. Ketika sampai tepat di sampingku, tanpa kuduga Xiao Jie merebut gelas cappucino dari tanganku dan menggantinya dengan gelas lain. Xiao Jie melakukannya dalam waktu yang sangat singkat hingga Wei Bo tidak mengetahuinya. Tanpa berkata apapun, Xiao Jie terus berjalan menjauh.

Aku terdiam. Di dunia ini yang tahu bahwa aku alergi aroma kafein hanyalah Xiao Jie. Aku tersenyum tipis. Ternyata dari dulu diam-diam dia menjagaku. Kulirik Wei Bo yang tetap berjalan tegap di sampingku. Aku menghela nafas. Wei Bo tetap dingin seperti semula.

--------------------------------------------------
Bersambung ke part 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar