Selasa, 30 Oktober 2012

(Taiwan Fanfiction) Iridescent Time - part 2

Judul : Iridescent Time
Author : Ariek Chun-AzzuraChunniess
Genre : Tragedy, Romance
Rating : PG-15
Cast :
JJ Lin as Lin Jun Jie
Hebe Tian as Tian Fu Zhen
Wilber Pan as Pan Wei Bo



Hari demi hari mulai berlalu. Semakin hari, Jun Jie semakin sering muncul di hadapanku. Dia adalah mahasiswa biokimia yang berperan penting dalam penelitian yang digelar Dosen Fong. Dan sayangnya aku juga terlibat di sana. Aku yang biasanya merasa senang dengan segala macam penelitian, kini merasa tidak kerasan sendiri.

Lin Jun Jie?!

Siapa sebenarnya laki-laki itu? Kenapa tiap kata dan kerlingan matanya serasa akrab bagiku? Beberapa kosakata asing yang sebelumnya tak kuketahui artinya, menjadi begitu jelas jika Jun Jie yang mengucapkannya. Entahlah, apa yang salah denganku.

"Fu Zhen, kau sakit?" kata-kata Wei Bo menyadarkanku dari lamunanku. Sepertinya Wei Bo heran melihatku tak kunjung menyuapkan makananku ke mulut. Bukannya memandang Wei Bo, aku malah beralih memandang Jun Jie yang tengah duduk di depanku. Lagi-lagi kami makan siang bertiga.

"Ah, tidak." jawabku. Segera kusuapkan makananku untuk mengalihkan Wei Bo.

"Kau sering melamun belakangan ini. Sudahlah, jangan terlalu serius memikirkan proyek Dosen Fong." lanjut Wei Bo. Diletakkannya sumpitnya, lalu membenarkan letak rambutku yang menjuntai ke depan.

"Dosen Fong selalu meminta laporan tiap pertemuan. Menyebalkan." tambahku sedikit cemberut. Yang kukatakan benar-benar berlawanan dengan pikiran yang memenuhi otakku sekarang.

"Ya, Si Tua Botak itu memang menyebalkan! Bagaimana kalau kita liburan? Dengan begitu mungkin kau akan kembali segar." ucap Wei Bo. Jemarinya memainkan rambut di belakang telingaku.
Aku tertawa. Selanjutnya kami asyik membicarakan rencana liburan akhir pekan ini. Aku mengusulkan ke pantai, tapi Wei Bo bilang ingin ke Disneyland Hongkong. Kami berdebat kecil. Kucubit lengannya karena tidak mau mengalah. Wei Bo balas mengacak-ngacak rambutku. Kami saling serang sambil tertawa kecil.

DEG!!

Aku tersadar. Sekilas mataku berpindah ke sosok yang tengah duduk di depanku. Apa yang aku lakukan? Tidak seharusnya aku bercanda mesra dengan Wei Bo tanpa menghiraukan Jun Jie yang duduk di depanku sedari tadi. Jun Jie menatapku dan Wei Bo sepintas. Lalu dia kembali sibuk dengan makanannya.

Perlahan kuturunkan tanganku dari tubuh Wei Bo lalu kembali melanjutkan makanku.

"Aku sudah selesai. Aku pulang dulu." kata Jun Jie sambil membersihkan mulutnya dengan tisu.

"Eh? Kenapa buru-buru?" tanya Wei Bo.

Jun Jie tersenyum. Ia berdiri dari kursinya lalu beranjak pergi usai mengucapkan salam. Wei Bo dan aku menatap kepergian Jun Jie sampai menghilang di balik pintu kantin.

Makanan Jun Jie habis tak bersisa. Hebat sekali dia bisa menghabiskan makanan sebanyak itu dalam waktu singkat. Kami kembali melanjutkan makan. Hampir satu jam kami di sana dan kembali asik berdebat tentang liburan akhir pekan. Tiba-tiba ponsel Wei Bo berdering. Setelah bicara sebentar dengan seseorang di seberang sana, Wei Bo langsung meraih tas pinggangnya.

"Fu Zhen, maaf ya. Kali ini aku tidak bisa mengantarmu pulang. Kakak menyuruhku segera ke kantornya." kata Wei Bo.

"Iya, tidak apa-apa." jawabku. Aku turut berdiri mengiringi Wei Bo. Tiba-tiba mataku menangkap sebuah benda di seberang meja.

"Wei Bo! Itu handphone siapa?" tanyaku. Sejenak Wei Bo mengurungkan langkah kakinya.

"Ini handphone Jun Jie. Dia ketinggalan." kata Wei Bo sambil meraih handphond itu, "Bagaimana ini? Aku tidak punya waktu. Mungkin baru besok aku mengembalikannya."

"Ya, sudah. Biar aku saja yang mengembalikannya." kataku.
Tanpa banyak bicara, Wei Bo langsung menyetujui usulanku. Dia memanggilkanku sebuah taksi, lalu memberikan arahan akan tempat tujuanku pada sopir taksi.

"Fu Zhen, aku sudah memberitahu sopir letak rumah Jun Jie. Dia akan menurunkanmu di depam sebuah gang. Masuk saja ke gang itu lalu jalan lurus. Rumahnya ada di ujung tanjakan. Kau tidak akan bingung, rumah Jun Jie berbeda dengan rumah lainnya. Rumahnya sedikit bergaya jepang." kata Wei Bo menjelaskan.

Taksi yang kutumpangi mulai berjalan dan membawaku mengitari jalanan Kota Nantou. Sesuai dengan perkataan Wei Bo, aku turun di depan sebuah gang. Kulangkahkan kakiku ke dalam gang sempit itu. Kanan kirinya dipenuhi rerumputan hijau. Rasanya geli menusuk kulit kakiku.

Semakin lama jalan yang kulalui semakin menanjak. Bongkahan batu besar berbaris membentuk anak tangga. Suasananya lengang. Hanya suara serangga di pepohonan yang terdengar.

Tak berselang kemudian, tanjakan bebatuan itu mulai berakhir. Ya, benar. Seperti kata Wei Bo, mataku menangkap sebuah rumah dengan sentuhan arsitektur tradisional jepang tepat di depanku. Dua buah pohon besar berdiri di depannya. Rindangnya semakin menambah kesunyian.

Kutapakkan kakiku memasuki halaman rumah. Begitu sampai di depan pintu, kupencet bel rumahnya. Tak beberapa lama kemudian, kudengar langkah kaki mendekat. Telingaku menangkapnya dengan jelas mengingat lantai rumah itu sepenuhnya terbuat dari kayu.

"Hai, selamat siang." sapaku begitu Jun Jie membuka pintu. Jun Jie nampak tertegun melihatku berdiri di hadapannya.

"Si, siang." jawabnya.

Lagi-lagi ekspresi itu. Jun Jie selalu menghindar dari tatapan mataku ketika sedang berhadapan denganku.

Sejenak kami saling diam. Aku menunggu Jun Jie berkata-kata. Tapi sedari tadi dia hanya menatap teras rumahnya sambil memegang knop pintu.

"Jun Jie."

"Fu Zhen."

Tiba-tiba suara kami berbenturan. Aku memanggil Jun Jie, tapi di saat bersamaan Jun Jie juga memanggilku. Kami tertawa lepas.
"Masuklah." kata Jun Jie kemudian. Suasana terasa sedikit cair setelah kami tertawa bersama. Baguslah, karena aku tidak suka meladeni Jun Jie yang selalu kikuk di depanku.

Jun Jie mengantarku duduk di depan sebuah meja dengan bantal tipis sebagai alasnya. Rumahnya benar-benar seperti rumah orang jepang.

"Aku ke sini untuk mengembalikan handphonemu. Kau tadi meninggalkannya di meja kantin." kataku sambil menyodorkan handphone Jun Jie ke atas meja.

Jun Jie terperangah, "Wah, maaf merepotkanmu. Aku memang pelupa. Terima kasih kau sudah mengantarnya ke sini."

"Sama-sama. Kebetulan aku juga ingin tahu rumahmu."

"Kau pasti haus. Mau teh hijau?"

"Boleh juga." jawabku. Jun Jie berdiri lalu berjalan ke dapur. "Rumahmu unik sekali. Aku merasa benar-benar sedang berada di Jepang sekarang."

"Sebenarnya ini rumah kakekku. Tapi sekarangaku yang menempatinya." sahut Jun Jie dari dapur.

"Dimana kakekmu?" tanyaku lagi. Aku berdiri dari dudukku sambil mendongakkan kepalaku melihat seisi ruangan.

"Dia sudah lama meninggal."

"Ehm? Maaf, aku tidak sengaja."

"Tidak apa-apa. Kakekku masih keturunan jepang. Dia sendiri yang mendesain rumah ini." kata Jun Jie. Suaranya terdengar cukup keras dari dapur.
"Oh, begitu..." mataku masih belum lepas dari detil rumah itu. Meski terkesan tua dan sederhana, tapi pekakas dan bahannya terbuat dari material bagus. Justru kerentaannya inilah yang membuatku tertarik dibanding rumah interior modern.

Tanpa kusadari kakiku menelusup semakin jauh ke dalam rumah Jun Jie. Kumainkan kakiku manja di atas lantai kayu. Derit kayu tiap kali kutapakkan kakiku membuatku tersenyum senang. Kira-kira kamarnya seperti apa ya? Demi menjawab pertanyaanku itu, kugeser sebuah pintu lalu masuk ke dalamnya.

Aku terdiam di depan pintu ruangan yang kukira adalah kamar tidur itu. Puluhan, oh tidak, itu adalah ratusan. Ratusan lembar foto menempel tak beraturan memenuhi seluruh dinding kamar kosong itu. Beberapa di antaranya bahkan tergeletak di lantai. Kulangkahkan kakiku semakin ke dalam. Aku tercengang. Rasanya seperti berada di dalam mozaik dengan ribuan cermin yang membentuk bayang diriku sendiri.

Ya, benar. Bayanganku sendiri. Semua foto yang menempel di sana adalah potret diriku sendiri. Aku tersenyum, aku tertawa sambil memeluk teddy bear, aku cemberut dengan kuncir rambut Pucha. Lalu, apa itu? Seragam sma? Aku memakai seragam sma? Kemudian tepat di sebelahnya, aku berdampingan dengan Jun Jie. Aku juga berangkulan dengan Jun Jie. Aku, aku, aku, semua isi ruangan itu adalah aku!

"Agh!!" aku tersentak. Syaraf otakku lagi-lagi menegang. Serasa ada hantaran listrik menyengat tubuhku. Tiba-tiba saja semua foto dalam ruangan itu berubah menjadi tisu putih. Melayang, memutariku, lalu menampar wajahku secara bergantian.

Aku limbung. Aku jatuh berlutut dalam ruangan itu. Muncul bayangan. Entah bayangan apa. Dia semakin mendekat ke arahku, merengkuhku hingga membuatku sulit bernafas.

##############################

"Xiao Jie! Kau masuk SMA Nantou juga?"

"Haha! Iya!"

"Yeeeei! Kita satu sekolah lagi."

"Fu Zhen, kau tidak bosan apa satu sekolah terus denganku?"

"Tentu saja tidak! Aku senang ada korban untuk dikerjai."

"Apa? Dengar ya! Kali ini aku tidak akan tinggal diam!"

###########################

"Oh, begitu..." mataku masih belum lepas dari detil rumah itu. Meski terkesan tua dan sederhana, tapi pekakas dan bahannya terbuat dari material bagus. Justru kerentaannya inilah yang membuatku tertarik dibanding rumah interior modern.

Tanpa kusadari kakiku menelusup semakin jauh ke dalam rumah Jun Jie. Kumainkan kakiku manja di atas lantai kayu. Derit kayu tiap kali kutapakkan kakiku membuatku tersenyum senang. Kira-kira kamarnya seperti apa ya? Demi menjawab pertanyaanku itu, kugeser sebuah pintu lalu masuk ke dalamnya.

Aku terdiam di depan pintu ruangan yang kukira adalah kamar tidur itu. Puluhan, oh tidak, itu adalah ratusan. Ratusan lembar foto menempel tak beraturan memenuhi seluruh dinding kamar kosong itu. Beberapa di antaranya bahkan tergeletak di lantai. Kulangkahkan kakiku semakin ke dalam. Aku tercengang. Rasanya seperti berada di dalam mozaik dengan ribuan cermin yang membentuk bayang diriku sendiri.

Ya, benar. Bayanganku sendiri. Semua foto yang menempel di sana adalah potret diriku sendiri. Aku tersenyum, aku tertawa sambil memeluk teddy bear, aku cemberut dengan kuncir rambut Pucha. Lalu, apa itu? Seragam sma? Aku memakai seragam sma? Kemudian tepat di sebelahnya, aku berdampingan dengan Jun Jie. Aku juga berangkulan dengan Jun Jie. Aku, aku, aku, semua isi ruangan itu adalah aku!

"Agh!!" aku tersentak. Syaraf otakku lagi-lagi menegang. Serasa ada hantaran listrik menyengat tubuhku. Tiba-tiba saja semua foto dalam ruangan itu berubah menjadi tisu putih. Melayang, memutariku, lalu menampar wajahku secara bergantian.

Aku limbung. Aku jatuh berlutut dalam ruangan itu. Muncul bayangan. Entah bayangan apa. Dia semakin mendekat ke arahku, merengkuhku hingga membuatku sulit bernafas.

########################

"Xiao Jie! Kau masuk SMA Nantou juga?"

"Haha! Iya!"

"Yeeeei! Kita satu sekolah lagi."

"Fu Zhen, kau tidak bosan apa satu sekolah terus denganku?"

"Tentu saja tidak! Aku senang ada korban untuk dikerjai."

"Apa? Dengar ya! Kali ini aku tidak akan tinggal diam!"

########################

Aku terpaku. Sakit yang mengekang seluruh tubuhku tak lagi aku rasakan. Bayangan dua remaja sma yang tengah bercanda sepenuhnya mengalihkan perhatianku.

Gadis itu, wajahnya kenapa mirip sekali denganku?

---------------------------------------------------------
Bersambung ke Part 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar