Rabu, 17 Oktober 2012

(Taiwan Fanfiction) Iridescent Time - part 1

Title : Iridescent Time
Author : Ariek Chun-AzzuraChunniess
Length : Oneshoot
Genre : Tragedy, Romance
Rating : PG-15
Cast :
JJ Lin as Lin Jun Jie
Hebe Tian as Tian Fu Zhen
Wilber Pan as Pan Wei Bo




      Hidup hanya perlu dijalani. Melangkah seiring denting jarum jam menunjuk tepi angka. Tidak perlu rasa, kau hanya butuh pikiran.

     Kalimat itulah yang selalu kupatri dalam-dalam di hatiku. Tidak butuh merasakan, cukup bangun pagi, sarapan, kuliah, mengerjakan tugas, lalu kembali tidur. Rutinitas yang demikian adanya. Tidak peduli orang berkomentar ini hambar, ini membosankan, atau ini tidak mengasikkan. Ini ya ini. Ini hidupku!

     Terlebih Si Xing, gadis cerewet yang sok bersahabat pada tiap orang di kampus. Dengan menjelma sebagai teman karib, dia tidak pernah berhenti menyuruhku berubah dan keluar dari kebiasaanku yang baginya tidak berwarna. Mengajakku pergi ke berbagai tempat, menunjukkan tips-tips aneh di majalah, dan banyak hal bodoh lainnya. Dia sibuk mengubah hidupku.

     Jika saja ia mengerti, aku tidak membutuhkan semua itu. Aku tidak butuh mengamati mode fashion terbaru, aku tidak butuh berlibur ke pantai. Yang aku butuhkan adalah.....
Masa lalu.

     Masa di waktu dulu, ketika kau masih kecil, dimanja dan bermain sepanjang waktu. Atau ketika kau sd, jail dan bingung mengerjakan tugas. Mungkin juga ketika kau smp, sibuk bergosip dan belajar memakai alat rias untuk pertama kali. Kemudian sma, kau merasakan debaran aneh di dadamu dan suka mencuri pandang pada seseorang.

     Aku tersenyum kecut. Yang aku bicarakan itu adalah masa lalu Si Xing. Bukan punyaku. Kemudian, masa laluku? Jangan tanya. Aku tidak akan menjawabnya. Aku paling benci pertanyaan itu. Karena.... Karena aku tidak tahu jawabannya.

     Aku sering mematut diriku di kaca. Bingung melihat sebuah bayangan di seberang sana. Seolah baru pertama kali melihatnya. Apa manusia memang begitu? Tidak hapal dengan wajah sendiri? Atau hanya aku yang begitu? Belum mampu aku menjawab pertanyaan itu, muncul pertanyaan lain yang semakin membuat hatiku bergemuruh, sebenarnya aku di masa lalu itu seperti apa

     Baiklah, cukup kusimpulkan bahwa aku tersiksa jika membicarakan tentang masa lalu. Maka dari itu, aku tidak perlu rasa, aku cuma butuh pikiran. Lalu menjalani hari demi hari seperti layaknya manusia normal. Hambar, biarlah hambar. Lalu telingaku kembali dipenuhi celotehan Si Xing tentang mengubah sesuatu. Aktivitas menyebalkan yang kemudian menjadi bagian dari hidupku.

     "Hidupmu seperti lembar foto di abad 18, penuh abu-abu. Cobalah warnai sedikit. Bagaimana kalau kau melukis? Kau bisa menjadikannya sebagai hobi."

     Aku tersenyum tawar. Melirik Si Xing sepintas. Lalu kembali sibuk dengan tugas-tugas kuliahku. Lalu setelah itu kalimat-kalimat dari bibir Si Xing akan membaur dengan kalimat-kalimat dari buku Karl Max. Tapi aku tidak pernah mengeluhkannya. Aku tetap bisa berkonsentrasi di tengah hujan kalimat dari si ideologis Si Xing.

     Hambar, biarlah hambar. Termasuk ketika ayah mengatakan bahwa aku dan dia harus pindah ke rumah nenek di Nantou. Aku meresponnya dengan ber-iya. Mengepakin barang, mengurus surat-surat kepindahanku di kampus, dan hal-hal lain yang dilakukan orang-orang ketika pindah rumah. Aku juga cukup ber-iya ketika Si Xing memintaku jangan melupakannya, dan sering-sering telepon sambil menangis sesenggukan. Kubiarkan ia memelukku rapat sampai membuatku sulit bernafas di stasiun kereta. Kutegapkan tubuhnya begitu gerbongku tiba. Masuk ke dalam, lalu duduk di kursi penumpang. Hidup manusia memang identik dengan sesuatu yang kronologis.

     "Fu Zhen~... Oh, cucuku. Nenek benar-benar merindukanmu." Nenek membuka tangannya lebar-lebar begitu aku dan ayah turun dari taksi di depan rumahnya. Dia berjalan cepat, lalu memelukku di pinggir jalanan. Sepertinya aku akan tinggal seatap dengan Si Xing kedua

     Ayah dan nenek menarikku ke dalam rumah, sementara truk yang mengangkut barang-barang kami sampai tak berselang kemudian. Suasana berubah berisik begitu petugas pemindahan barang mengangkut barang-barang ke dalam rumah nenek. Puluhan kardus besar kecil ditata malang melintang. Aku hanya duduk sementara ayah dan nenek mondar mandir mengarahkan petugas.

     Tempat tinggal baru, universitas baru, lalu Si Xing-Si Xing baru. Aku tetap melewati hari-hari seperti sedia kala. Tanpa rasa, tapi penuh pikiran. Aku sibuk menghubungkan kehidupan manusia dengan segala macam teori.

     Si Xing tidak pernah lupa dengan kata-katanya. Benar saja, hampir tiap malam dia meneleponku. Menanyakan kabarku, lalu berceloteh dengan tema yang sama.

     "Fu Zhen! Aku tau cara yang menyenangkan agar kau senang menjalani hari-harimu yang hitam putih itu." kata Si Xing dengan suara penuh semangat.

     "Hm..."

     "Tanya 'apa'!"

     "Apa?"

     "Carilah pacar!"

     "Oh...."

     "Ini pasti membuatmu semangat. Carilah yang tampan dan romantis, kau akan senang."

     "Iya."

     "Jika ada, carilah yang kaya. Dia pasti membelikan apapun yang kau minta."

     "Iya."

     Topik utama pembicaraan Si Xing malam itu adalah mencari pacar. Seperti biasanya, aku cukup mengiyakan dan tidak sedikitpun melakukannya.

     Namun, selain menceramahiku, sepertinya Si Xing juga mendoakanku. Terbukti sehari setelah telepon Si Xing, seorang laki-laki di kampusku menyatakan cinta padaku. Usai tampil di pesta perayaan tahun baru, Wei Bo, seorang mahasiswa yang kebetulan pernah satu proyek denganku, memintaku menjadi kekasihnya.

     "Fu Zhen, aku... aku mencintaimu." ucap Wei Bo dari atas panggung. Lampu sorot tepat mengarah padaku. Membuatku semakin leluasa dipandangi sekian banyak orang.

     Aku terdiam.

     "M-maukah kau menjadi pacarku?"

     Aku masih terdiam.

     Sekian detik suasana yang semula ramai menjadi lengang. Hanya denging sound system yang terdengar seperti deritan serangga di batang pohon. Seorang anak di depan pentas memulai provokasinya. Ia menepuk-nepuk tangannya dan berteriak lantang.

      "Terima! Terima! Terima!"

     Sontak puluhan anak-anak lain di halaman rumah Qi Yun malam itu ikut berteriak. Aku semakin terpojok. Aku jadi terlihat seperti gadis ingusan yang malu-malu ketika seseorang menyatakan cinta padanya. Padahal aku diam hanya karena aku tidak tahu alasan untuk menolaknya. Aku pasti akan mempermalukan Wei Bo jika menjawab tidak. Tapi jika menerimanya, untuk apa?

     Seketika omelan ideologis dari Si Xing menggema di telingaku. Tentang mengubah sesuatu. Apa yang berubah? Entahlah. Aku cukup berfikir dengan otakku, apa salahnya?

     Aku menghela nafas, "Iya..." jawabku kemudian. Wei Bo melompat kegirangan di atas panggung. Ia dan teman-temannya berangkulan. Sementara suara tepuk tangan dan suara seruan riuh rendah memenuhi seluruh halaman rumah Qi Yun yang hijau dan indah. Aku tergelak, aku tidak menduga akan seheboh ini.

     Aku mengenal Wei Bo tidak lebih sebagai rekan penelitian di kampus. Ia melaksanakan tugasnya dengan baik dan banyak mendapat pujian dari dosen karena kecerdasannya. Mereka menyorakiku dan Wei Bo sebagai pasangan yang sama-sama pintar, sama-sama berprestasi, dan kesamaan lainnya. Wei Bo terkekeh senang dibuatnya. Sementara aku tetap pada kebiasaanku yang benar-benar biasa, tersenyum hambar.

     Satu orang lagi yang meloncat kegirangan berkat kata "Iya"-ku di pesta tahun baru adalah Si Xing. Ia tertawa keras di seberang sana ketika bertelepon denganku.

     "Demi langit dan bumi!! Akhirnya kau berubah, Fu Zhen! Hahaha.... Aku benar-benar kaget mendengar kata-katamu tadi!"

     "Ya..."

     "Eh? Siapa tadi? Wei Bo?"

     "Iya, Pan Wei Bo.”

     "Bagaimana orangnya? Pasti dia tampan, iya 'kan? Gadis semanis kau pantas mendapatkannya. Jangan sia-siakan kesempatan ini, Fu Zhen!"

     "Iya..."

     "Jaga cinta yang kamu miliki dengan sebaik-baiknya. Oh ya, aku akan mengirimimu tips menjaga hubungan tetap langgeng. Nanti bukalah emailmu."

     "Iya..."

     "Ini tanggal berapa? Oh, 1 Januari? Wah hebat! Ini bertepatan dengan tahun baru! Catat besar-besar di kalendermu, Fu Zhen! Ini hari paling spesial dalam hidupmu! 1 Januari adalah tanggal jadianmu dengannya!”

     "Iya..."

     "Buang semua kemejamu yang ketinggalan jaman itu. Akan kukirim katalog terbaru dari The Style. Kau harus membeli pakaian yang kodenya sudah kutandai dengan spidol merah! Pokok kau harus tampil cantik saat berkencan."

     Aku termangu, "Berkencan?"

     "Iya. Semua orang yang pacaran harus berkencan!"

     Tak pernah terbesit di benakku sebelumnya. Berkencan, kosakata yang jarang kutemui dalam pembendaharaan kata di otakku. Si Xing tidak meleset, dua hari setelah itu, Wei Bo mengajakku berkencan. Si Xing memaksaku memakai blus pilihannya. Ia bahkan menyuruhku membuka web cam agar bisa melihat riasan wajahku sebelum berangkat. Setelah membetulkan semua hal yang bagiku tidak ada pengaruhnya, Si Xing melepasku pergi.

     Pergi berkencan.

     Rasanya sedikit asing. Tapi tetap kujalani seperti aku menjalani hari-hariku. Wei Bo mengajakku menonton film di bioskop, makan malam, lalu jalan-jalan di sepanjang pelataran toko. Ia memilihkanku sebuah kalung dengan gantungan bintang berkilauan. Ia juga membicarakan banyak hal. Ia menceritakan makanan kesukaannya lalu bertanya bagaimama denganku. Ia menceritakan penyanyi favoritnya lalu bertanya bagaimana denganku. Entahlah, pertanyaan Wei Bo sedikit susah kujawab.

     Wei Bo tidak berhenti tersenyum lebar. Kilat matanya penuh semangat. Dia terlihat senang sekali bersamaku. Entah apa yang meraba hatiku. Terasa sebuah tangan halus menelusup menembus tubuhku dan mendarat di hatiku. Mengusapnya dengan lembut dan mengalunkan bisikan yang membuatku nyaman. Aku tersentuh.

     Tersentuh?

     Mataku kembali menangkap binar-binar kebahagiaan di wajah Wei Bo. Aku merasakannya lagi. Nyaman. Membuat orang lain senang sungguh membuat hati nyaman. Kuayunkan kakiku mengiringi langkah Wei Bo. Aku turut tersenyum. Sejurus kemudian senyum bahagiaku berubah menjadi senyum geli. Geli jika teringat aku menerima Wei Bo dulu atas dasar terpaksa. Tapi kini, sepertinya benar-benar beruntung aku telah menjawab iya.
Kau benar Si Xing, akan terus kujaga perasaan ini.

     ################

     "Baobei, makan siang?" tegur Wei Bo dari belakangku. Sejenak kualihkan mataku dari buku tebal di hadapanku. Wei Bo berjalan menghampiriku sambil merangkul seorang laki-laki.

     "Hem, baik." jawabku. Mataku beralih menatap lelaki di samping Wei Bo. Sontak Wei Bo tertawa dan mengerti dengan pertanyaan yang muncul di wajahku.

     "Haha! Iya, aku belum memperkenalkannya. Fu Zhen, ini Lin Jun Jie, temanku." kata Wei Bo sambil memandangku dan temannya bergantian, "Jun Jie, dia Tian Fu Zhen, pacarku. Yang aku ceritakan padamu kemarin."
Aku mengulum senyum. Kulempar tanganku ke hadapan Jun Jie untuk berjabatan.

     Hening.

     Jun Jie tak kunjung menyambut tanganku. Ia menatap ke arahku tanpa berkedip. Nafasnya terdengar putus-putus. Aku heran dibuatnya. Tak terkecuali Wei Bo, ia melihati Jun Jie dengan tatapan bingung.

     "Heh, Jun Jie!" tegur Wei Bo. Namun Jun Jie masih pada posisinya semula. Aku berdalih, mungkin ia tipe orang yang tidak berjabatan tangan ketika berkenalan. Perlahan kuturunkan tanganku. Tapi, tanpa diduga Jun Jie meraih tanganku yang belum sampai ke bawah dan menggenggamnya. Aku terhenyak. Cara jabatannya benar-benar aneh.

     "Tian Fu Zhen." kataku mengulang nama.

     "Xiao Jie. Eh, maksudku, Jun Jie... Lin Jun Jie."

     Xiao Jie

     Xiao Jie? Tiba-tiba sebuah bayangan seperti selembar kain putih menampar wajahku. Aku tergagap. Muncul sebuah bulatan hitam yang tiba-tiba mengganjal mataku. Urat-urat kepalaku menegang. Seolah ingin berlari ke arah yang aku sendiri tak tahu kemana itu.

     "Fu Zhen?”

     Aku tersadar. Tiba-tiba wajah Wei Bo sudah berada tepat di depan mataku.

     "Kau kenapa?"

     "Ah, aku tidak apa-apa. Ayolah, aku sudah lapar." kutarik lengan Wei Bo manja. Kami berjalan mesra sementara Jun Jie mengekor di belakang.

     Aku tetap tak bisa menghentikan pergulatan di otakku. Sebuah nama yang terlontar dari bibir Jun Jie benar-benar mengganggu telingaku. Kenapa ia mengucapkan 'Xiao Jie' padahal namanya bukan itu? Ehm, mungkin saja Jun Jie salah ucap. Bukankah itu manusiawi? Masalahnya, kenapa otakku menjadi tegang begini? Seperti terjadi letupan jutaan neuron yang membuat detak jantungku tidak nyaman. Ada apa dengan nama itu?

     Tak lama kemudian kami sampai di sebuah restoran tak jauh dari universitas kami. Aku duduk berdampingan dengan Wei Bo, sementara Jun Jie duduk di hadapanku berseberangan dengan meja makan.

     "Fu Zhen, kau pernah makan Ramen?" tanya Wei Bo sambil memilah-milah buku menu.

     "Ehm, belum."

     "Ini restoran masakan jepang, mau coba?"

     "Boleh juga. Lalu kau?"

     "Aku juga pesan ramen."

     "Haha, baiklah. Kita pesan menu yang sama." ujarku sambil bergelayut di pundak Wei Bo. Aku suka melakukan itu, pundak Wei Bo benar-benar tangguh.

     "Kalau kau, Jun Jie?" tanya Wei Bo pada Jun Jie.

     "Aku pesan Ekado."

     Ekado

     Tanpa kusadari tanganku luruh ke bawah terlepas dari pundak Wei Bo. Lagi-lagi urat kepalaku menegang. Seiring kemudian hatiku bergemuruh seperti hujan badai.

     "Ekado?" bibirku mengulang nama masakan jepang itu tanpa kuperintah
.
     "Iya, aku menyukainy." jawab Jun Jie.

     "Fu Zhen, kenapa? Kau ingin memesan Ekado juga?"

     "Ah, tidak~..."

     Seorang pelayan datang lalu mencatat menu pesanan kami. Entahlah, tiba-tiba aku merasa sedang tidak berada di restoran jepang. Semua orang yang hilir mudik di sana seperti film bisu di abad pertengahan, diam dan tidak mengeluarkan suara apapun. Yang terdengar oleh telingaku hanyalah suara Jun Jie. Dia tersenyum, mengobrol banyak hal dengan Wei Bo. Sesekali ia tertawa terpingkal-pingkal sambil menggebrak meja. Helaian rambut berjatuhan menutupi alisnya.

     Kenapa?

     Kenapa aku merasa tidak asing dengan Jun Jie? Bukankah baru pertama kali ini aku bertemu dengannya?

     Lagi-lagi...

     Seperti ada selembar tisu putih menampar wajahku. Aku seperti terbawa ke alam yang aku sendiri tak tahu apa itu. Aku bingung. Syaraf otakku kembali tegang. Sakit di puncak kepalaku sampai menjalar ke seluruh tubuhku.

     Usai dari restoran itu, Wei Bo mengantarku pulang. Tubuhku terasa lemas. Ramen yang baru saja kumakan tak terasa apapun di lidahku.

     Aku berjalan gontai memasuki halaman rumah nenek. Kupijit pelipisku sambil melangkah ke dalam kamar. Sayup-sayup kudengar suara orang sedang bicara. Sumber suara itu berasal dari kamar nenek. Pintunya terbuka sedikit sehingga membentuk celah kecil. Sebenarnya aku tak pernah tertarik menguping pembicaraan orang lain. Tapi namaku berkali-kali mereka sebut di sela-sela pembicaraan mereka. Aku berhenti di samping pintu kamar nenek. Kupicingkan mataku ke dalam. Itu ayah!

     "Ini baru satu tahun. Sebenarnya aku masih belum yakin dengan Fu Zhen." kata-kata ayah tertangkap jelas oleh telingaku. Apa maksudnya?

     "Satu tahun itu waktu yang lama. Pasti Fu Zhen sudah tidak apa-apa sekarang."

     "Perasaanku tidak enak, Bu. Sebaiknya Fu Zhen kubawa kembali ke Taipei."

     "Apa? Kau baru satu bulan di sini."

     "Tempat ini, Bu~... Tempat ini, bagaimana jika..."

     "Zhong Wei! Hentikan! Itu tidak akan terjadi.”

     Ayah dan nenek tak berhenti berdebat. Aku langsung beranjak pergi dari sana sebelum tertangkap basah oleh Ayah. Dalam keadaan lenyap dalam tanda tanya besar, kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Banyak pertanyaan menyembul di otakku. Namun tak satupun terjawab. Aku mendesah, kepalaku terasa semakin sakit.

--------------------------------------
Bersambung ke part 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar